Kamis, 09 September 2021

Refleksi Lasmi Ningsih (1.2.a.6. Refleksi Diri)

 

Tersebutlah seorang guru. Sebut saja namanya Bu Ning.

Menjadi guru adalah panggilan hatinya. Pun ketika harus memilih sekolah yang dekat dengan rumah. Meski karir di sekolah lama sedang bersinar. Dengan segala konsekuensi atas pilihan tersebut.

Tahun 2015 Bu Ning mutasi di sebuah sekolah pinggiran di kecamatan Panongan. Miris bagi Bu Ning, mendapati sekolah yanv jauh dari layak. Banyak meja berlobang atau goyang. Atas kelas penuh lubang,pun dengan tembok sekolah yang sudah belah.

         Namun demikian tak menyurutkan bu Ning untuk selalu berinovasi dalam memimpin pembelajaran di kelas. Tahun 2019 Bu Ning diamanahi mengajar kelas 6. Baru satu minggu pembelajaran dimulai, tiba-tiba ada grup whatsap baru. Ternyata itu adalah grup murid-murid  kelas 6.

     
Bu Ning berpikir," Aku mengajar anak milenial yang begitu akrab dengan smartphone."

Bu Ning berharap dengan mengajar menggunakan HP, anak-anak bisa belajar dengan senang dan bermanfaat untuk masa depannya. Jangan sampai pengalaman pahir Bu Ning saat sekolah dasar terulang. Mendapatkan nilai dibawah KKM karena gurunya galak dan kurang kooperatif dengan siswa.

Oleh karena itu, Bu Ning berusaha mencari diklat di internet . Bertepatan dengan dibukanya diklat peningkatan kompetensi guru dalam bidang informasi teknologi yang diadakan PUSTEKOM. Akhirnya mengikuti diklat secara mandiri.

Bagi seorang guru kemampuan berbicara di depan umum menjadi salah satu kompetensi yang harus dimiliki. Bagaimana tidak ? Seorang guru harus manjalin komunikasi dua arah yang efektif dengan peserta didik. Bu Ning menyadari bahwa kemampuannya  berbicara di depan umum tak lepas dari pengalaman masa SMA ketika menjadi Ketua Koperasi WASIS. Saat itu Bu Ning harus berpidato di depan kepala sekolah, dewan guru, dan siswa untuk mempertanggungjawabkan satu tahun kepemimpinannya.

Pada awalnya Bu Ning tidak percaya diri. Sampai suatu ketika Bu Sari, Guru IPS menyarankan untuk membuat naskah pidato dan dihafalkan. Selain itu Beliau juga menyarankan untuk membaca buku Koperasi di perpustakaan sebagai referensi membuat pidato.

Bu Ning menyadari bahwa Guru menjadi factor penting keberhasilan anak didik di masa yang datang. Karena seorang guru bisa menjadi teladan, idola, motifator dan fasilitator bagi peserta didik. Dimana seorang guru tidak hanya sekedar mentranfer ilmu, namun membentuk sikap bekerja keras, pantang menyerah dan optimis dengan kemampuan diri sendiri.

Setelah mengikuti Program Pendidikan Guru Penggerak, Bu Ning menyadari bahwa seorang guru hendaknya mendidikasikan 24 jam waktu yang ia punya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dimulai dari kelasnya, sekolah, dan komunitas sekitarnya.

Seorang guru juga menempatkan  dirinya sebagai orang tua kedua di sekolah. Tanpa pamrih mendidik sikap. Jika ada masalah dalam pembelajaran selalu melakukan refleksi. Tidak menyalahkan orang lain, namun aktif mencari solusi.

Bu Ning juga memandang setiap anak adalah cerdas. Ada yang cerdas bahasa, logika matematika, kinestetik maupun cerdas dalam  bidang seni. Sudah sepatutnya seorang guru menemukan mutiara-mutiara dalam diri anak didik. Kemudian mengasahkan agar kelak di masa yang akan datang menjadikan sumber penghidupan untuk anak. Yang tak kalah penting adalah membekali anak untuk tetap beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sebagai manusia, Bu Ning menyadari jauh dari sempurna. Pun tentang nilai dan peran sebagai guru penggerak. Untuk menggerakkan komunitas sekolah,  Bu Ning melakukan pendekatan kepada rekan sejawat. Berbicara dari hati-kehati tentang Filosofi Ki Hadjar Dewantara. Selain itu, Bu Ning juga mensosialisasikan program yang sudah dibuatnya kepada Kepala Sekolah, Ibu Hj.Emi Suhaemi,S.Pd.SD. Memang belum maksimal. Namun tetap diupayakan untuk melakukan refleksi atas capaian program yang sudah dibuat.

Menjadi Guru Penggerak bagi Bu Ning adalah sebuah amanah yang besar. Agar amanah itu berjalan maksimal, Bu Ning berusaha komitmen dengan jadwal yang sudah dibuat. Rutin melakukan refleksi dan menuliskannya. Sebagai bahan evaluasi dan rencana tindak lanjut. Melakukan koordinasi, berbagai dan kolaborasi dengan sesame guru penggerak untuk saling menguatkan.

Setiap program pasti ada hambatan. Bagi Bu Ning hambatan adalah tantangan untuk bisa berpikir dan bertindak kreatif. Misal keterbatasan orang tua memfasilitasi kuota untuk pembelajaran interaktif saat pembelajaran jarak jauh. Bu Ning berusaha menggunakan aplikasi Watsapp namun tetap interaktif di kelas. Online selama jam belajar. Membirakan penjelasan dan contoh-contoh sebelum memberikan tugas. Menggunakan pesan suara, video call pribadi ataupun menggunakan game interaktif seperti quiziz.

Bu Ning menyadari, salah satu hambatan terbesar adalah saat Bibi yang mengasuh anak tidak bisa datang. Karena Bu Ning masih mempunyai anak usia 4 tahun, mau tidak mau anak dibawa ke sekolah. Mengajar sambil mengasuh, bagi Bu Ning mengurangi hak siswa untuk belajar. Namun Bu Ning selalu melakukan komunikasi baik kepada siswa maupun kepada orang tua murid. Jika anak sedang tidak kondusif, jam belajar dialihkan ke jam saat anak tidur.

 

0 komentar:

Posting Komentar